MATERI USUL FIQIH 2 : MAQASYID SYARIAH
PENDAHULUAN
Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa dan tak bermakna. Akan tetapi semua itu memiliki maksud dan tujuan, dimana dewa memberikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut dinamakan maqashid al-syariah.
Konsep maqashid al-Syari’ah sebetulnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang populer dengan Imum Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh spesialis ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang ia namakan kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, intinya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-Syari’ah.
Bertitik tolak dari uraian di atas, dalam makalah ini dipaparkan wacana Konsep Maqashid Syari’ah, Aspek-aspek yang terkandung dalam Maqashid Syari’ah, serta peranan Maqashid Syari’ah dalam pengembangan aturan Islam.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah konsep Maqashid Syari’ah?
2. Bagaimanakah maksud syari’ meletakkan syari’at untuk di pahami dalam taori maqoshid al-syatibi?
PEMBAHASAN
1. Konsep Maqashid Syari’ah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[1] Sedangkan Syari’ah secara bahasa berar/ti المواضع تحدر الي الماء[2] artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air sanggup juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[3]
Syeh Muhammad Syaltout contohnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah berdasarkan al-Syatibi menyampaikan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh insan dalam mengatur kekerabatan dengan tuhan, dengan insan baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.[4]
Menurut Asafri Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibentuk oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak menciptakan ta’rif yang khusus, ia Cuma mengungkapkan wacana syari’ah dan funsinya bagi insan menyerupai ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat” yang artinya: “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan insan di dunia dan Akhirat”.
Dari klarifikasi diatas memang tidak ada satu ketegasan wacana definisi Maqashid Syari’ah namun demikian ada sebagian Ulama mendefinisikan Maqashid Syariah sebagai mana oleh Abdullah ketika kuliah bersama Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A dalam Konsep Maqashid Syariah, yaitu:
المقاصد العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح الناس بكفلة وتوقير ضرورياتهم حاجياتهم وتحسناتهم
Artinya: Maqashid Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat dan Tahsiniat mereka.[5]
Dalam hal ini asy-Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari Maqashid Syari’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori aturan yaitu antara lain :
1. Al- Dharuriat (Kebutuhan Primer)
Yakni hal-hal yang menjadi faktor penting dalam kehidupan insan di dunia maupun di akhirat. Jika kebutuhan ini tidak terwujud, maka tata kehidupan di dunia akan ketimpang sehingga kebahagiaan darul abadi tidak tercapai dan siksalah yang akan mengancam. Kemaslahatan dalam taraf ini meliputi lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan, yaitu memelihara tegaknya agama (hifzh al-din), santunan jiwa (hifzh al-nafs), santunan terhadap kebijaksanaan (hifzh al-‘aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan santunan atas harta kekayaan (hifzh al-mal).[6]
Demi menjaga Islam, Islam memutuskan hukum-hukum jihad untuk memerangi orang yang mengganggu jalannya dakwah. Untuk mewujudkan jiwa, Islam mensyari’atkan perkawinan untuk memperoleh keturunan dan menjaga spesiesnya dengan cara yang sebaik-baiknya. Demi menjaga dan menjamin kelangsungan hidup, islam mensyari’atkan kewajiban untuk mendapat sesuatu yang sanggup menegakkan jiwanya, berupa kebutuhan pokok akan makanan, minuman, pakaian dan daerah tinggal. Islam mewajibkan aturan qishash, denda, dan tebusan atas siapa saja yang melampaui batas terhadap jiwa. Untuk memelihara akal, Islam mensyari’atkan keharaman khamer dan semua yang memabukkan, menghukum orang yang meminumnya atau mendapat apa saja yang sanggup merusak akal. Demi menjaga harga diri, Islam mensyari’atkan eksekusi bagi orang pria dan perempuan yang berzina dan eksekusi bagi orang yang menuduh zina. Dan alasan-alasan lain yang disengaja oleh syari’ demi menjaga agama, jiwaharta benda dan kebutuhan primer insan lainnya. [7]
2. Al-Hajiat (Kebutuhan Sekunder)
Yakni hal-hal yang menjadi kebutuhan insan untuk sekedar menghindarkan kesempitan dan kesulitan, jikalau kebutuhan ini tidak terwujud, maka insan akan mengalami kesulitan dan kesempitan tanpa hingga menimbulkan kebinasaan. Dengan memenuhi kemaslahatan dengan taraf semacam ini, Syari’ menggariskan bermacam-macam ketentuan tata laksana mu’amalah berupa jual beli, jasa persewaan, dan beberapa keringanan keringanan menyerupai diperbolehkanya melakukan jama’ dan qashar shalat bagi musafir, perkenan tidak berpuasa Ramadlan bagi perempuan hamil dan menyusui serta orang-orang sakit tetapi harus mengganti diwaktu lain, tidak adanya kewajiban shalat ketika haid dan nifas, diperbolehkannya mengusap khuf (sepatu) ketika wudlu dan lain sebagainya.[8]
3. Al-Tahsiniat (Kebutuhan Pelengkap)
Kebutuhan perhiasan insan yakni segala sesuatu yang sanggup memperindah keadaan manusia, sanggup menjadi sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diridan kemulyaan akhlak. Dalam hal ibadah, Islam memutuskan kebersihan badan, pakaian, tempat, menutup aurat, menjaga dari najis, berbuat baik dengan bersedekah, serta segala bentuk ibadah yang ditetapkan beserta rukun, syarat dan tata kramanya. Dalam hal muamalah, haram melaksanakan penipuan, memperdaya dan pemalsuan, boros dan terlalu kikir terhadap diri sendiri, dan muamalah lain yang menjadikan insan berada pada jalan yang paling baik. Dalam hal hukuman, dalam melaksanakan jihad diharamkan membunuh para rahib, bawah umur dan wanita. Dilarang melaksanakan penyiksaan, berkhianat.[9]
Dari uraian di atas, sanggup diambil kesimpulan bahwa syari’ tidak menghendaki penetapan aturan itu kecuali menjaga kebutuhan primer, sekunder, dan kebutuhan perhiasan manusia.
2. Maksud syari’ meletakkan syari’at untuk di pahami dalam taori maqoshid al-syatibi
Al-Syathibi memperlihatkan bahasannya dengan statemen : “ beban-beban syari’at semuannya berorientasi kepada terwujudnya tujuan-tujuan syari’at bagi makhluk (kemanusiaan). Ada dua topik inti yang di ketengahkan Al-syathibi, yaitu :
1. Syari’at islam yaitu syari’at arabiyyah, dan
2. Syari’at islam yaitu syari’at ummiyyah.
Hubungan kedua topik ini dengan maqoshid yaitu sebagai sarana untuk memahami dengan baik maqashid al-syari’ah. Karena sudah di ketahui bersama bahwa bahasa pengantar syari’at islam yaitu bahasa Arab, maka syuari’at tidak akan bisa dipahami dengan baik tanpa pemahaman yang baik terhadap bahasa Arab. Disamping itu masyarakat pertama peserta syari’at adalahmasyarakat ummiy, sehingga akan gampang menangkap maqashudnya bila di pahami sesuai dengan pemahaman masyarakat ummiy.
Mengenai topik pertama Al-Syathibi berkata : “Pembahasan yang dimaksud disini yaitu bahwa Al qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka mencari pemahaman yang sempurna terhadapnya hanya bisa dicapai melalui jalan ini (bahasa Arab)... Barang siapa ingin memahami Al-Qur’an maka dengan mulut orang Arab ia sanggup dipahami, dan tidak ada jalan lain untuk memahaminya selain melalui jalan ini”. (II/64).
Adapun mengenai topik kedua, yang dimaksud dengan ummy orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Kata ummy terambil dari kata umm yang berarti ibu. Kaprikornus ummy yaitu orang yang masih tetap pada keadaan asal klelahirannya ketika sang ibu melahirkan, ia tidak tahu lapang dada dan baca. Dalam duduk kasus ini Al-syathibi membahas beberapa hal, antara lain :
a. Ilmu dan pengetahuan orang Arab ketika Al-Qur’an diturunkan dimana syari’at mengakuinya bila ia benar dan mengoreksinya bila ia salah serta mengambarkan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya.
b. Kaidah-kaidah yang berafiliasi dengan ke ummiyan syari’at, yaitu:
1. Berlebihan dalam mengkaitkan Al-Qur’an dengan ilmu alam, ilmu matematika, logika dan ilmu bahasa yaitu tidak benardan tidak di kenal oleh ulama-ulama salaf.
2. Memahami syari’at harus mengikuti apa yang dulu dipahami oleh masyarakat ummiy ketika Al-Qur’an diturunkan.
3. Memahami syari’at harus sesuai dengan pemahaman umum orang Arab, dihentikan jauh dari kemampuan mereka dari sisi kosa kata dan maknanya.
4. Perhatian terhadap makna yang dikandung suatu kalimat yaitu tujuan utama bukan susunan katanya.
5. Ajaran-ajaran yang bersifat i’tikadiyyah (keyakinan) dan amaliyyah harus bisa di tangkap oleh kebijaksanaan masyarakat ummiy, supaya bisa untuk melaksanakan hukumnya. (II/69-95)
c. Suatu ungkapan yang memiliki dua makna, makna orisinil dan makna turunan, apakah suatu aturan sanggup di menetapkan berdasarkan makna turunannya? Ada dua pendapat dalam duduk kasus ini, dan Al-syathibi cenderung menolaknya. (II/95-107).
KESIMPULAN
1. Maqashid Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat dan Tahsiniat mereka. Dharuriat yaitu hal-hal yang menjadi faktor penting dalam kehidupan insan di dunia maupun di akhirat. Hajiyat adalah hal-hal yang menjadi kebutuhan insan untuk sekedar menghindarkan kesempitan dan kesulitan, jikalau kebutuhan ini tidak terwujud, maka insan akan mengalami kesulitan dan kesempitan tanpa hingga menimbulkan kebinasaan. Sedangkan tahnisiat adalah kebutuhan perhiasan insan yakni segala sesuatu yang sanggup memperindah keadaan manusia, sanggup menjadi sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diridan kemulyaan akhlak.
3. Maksud syari’ meletakkan syari’at untuk di pahami dalam taori maqoshid al-syatibi meliputi dua topic inti yaitu 1. Syari’at islam yaitu syari’at arabiyyah, sebagai sarana untuk memahami dengan baik maqashid al-syari’ah. Karena sudah di ketahui bersama bahwa bahasa pengantar syari’at islam yaitu bahasa Arab, maka syuari’at tidak akan bisa dipahami dengan baik tanpa pemahaman yang baik terhadap bahasa Arab. 2. Syari’at islam yaitu syari’at ummiyyah yakni orang yang tidak bisa membaca dan menulis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Konsep Maqshid al-Syari’ah. 2012.
Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. (Kediri: Forum Karya Ilmiah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo. 2008).
Qorib, Ahmad. Ushul Fikih 2. (Jakarta: PT. Nimas Multima. 1997). Cet. II.
Rahman, Fazlur. Islam. alih bahasa: Ahsin Muhammad. ( Bandung: Pustaka. 1994).
Wahhab, Abdul Khallaf. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam. (Jakarta. Pustaka Amani. 2003).
[1] Ahmad Qorib. Ushul Fikih 2. (Jakarta: PT. Nimas Multima. 1997). Cet. II. h. 170.
[2] Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansur al-Afriqi. (Bairut: Dar al-Sadr. t.th).VIII. h. 175. Dalam Abdullah. Konsep Maqshid al-Syari’ah. 2012.
[3] Fazlur Rahman. Islam. alih bahasa: Ahsin Muhammad. ( Bandung: Pustaka. 1994). h. 140.
[4] Asafri Jaya. Konsep Maqashid. h. 62.bisa dilihat: Mahmud Syaltout. Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah. (Kairo: Dar al-Qalam.1966). h. 12. Dalam Abdullah. Konsep Maqshid al-Syari’ah. 2012.
[5] Abdullah. Konsep Maqshid al-Syari’ah. 2012
[6] Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. (Kediri: Forum Karya Ilmiah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo. 2008). h.252
[7] Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih; Kaidah Hukum Islam. (Jakarta. Pustaka Amani. 2003). h. 295-297
[8] Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri. Op.Cit. h. 253
[9] Abdul Wahhab Khallaf. Op. Cit. h.299-300
Advertisement